Catatan Harian Aceh (2)
Membuka Isolasi Meulaboh
detikcom - Jakarta, Segera ke Aceh, itulah yang dilakukan Komisaris detikcom Bondan Winarno tidak lama setelah terjadi gelombang tsunami. Banyak kisah yang dialami mantan Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan, selama di Tanah Rencong itu.
Kisah-kisah Bondan Winarno akan redaksi muat secara berseri. Tulisan ini juga dimuat di Suara Pembaruan. Berikut tulisan seri kedua Bondan Winarno dengan judul Membuka Isolasi Meulaboh. Selamat mengikuti!
Jumat, 31 Desember 2004
Saya tekan keinginan untuk sarapan bihun bebek Kumango, dan langsung menuju ke Posko Nasional di Polonia. Sesuai dengan saran Letkol Alex Katung semalam, saya harus memperoleh persetujuan dari Lantamal I yang punya satgas di Posko Nasional untuk ikut naik kapal dari Sibolga ke Meulaboh.
Helikopter Chinook dari AU Singapura sedang siap bertolak. Beberapa pesawat lain turun-naik dalam jarak yang rapat. Relawan dari RRChina dengan seragam jingga siap diberangkatkan dengan pesawat.
Pukul 8.30, Brigjen (Mar) Halim, Komandan Lantamal I di Belawan, tiba di Posko. Saya langsung menemuinya. Brigjen Halim dengan cepat membuat keputusan. "Bagus. Tetapi, Anda tidak perlu berangkat dari Sibolga. Nanti sore ada KRI Teluk Peleng berangkat dari Belawan menuju Meulaboh. Naik itu saja!" (KRI Teluk Peleng jenis LST –landing ship tank – dibuat di Jerman Timur pada tahun 1972, dan dioperasikan oleh TNI AL sejak 1993 setelah kapal ini menjalani peremajaan dan pemodernan).
Things got better! Saya kembali ke kantor Sejahtera Ban untuk memantau perlengkapan yang dibeli. Beberapa karyawan di situ yang ikut melihat daftar perlengkapan, ternyata memberikan berbagai saran positif. Alhasil, kami putuskan untuk menambah lagi jenis dan jumlah barang yang dibeli. Dari sana saya ke Posko Nasional untuk meminjam empat tenda peleton dari Departemen Sosial yang akan kami pakai di Meulaboh.
Pukul lima sore, setelah upacara singkat di kantor PW Muhammadiyah, kami berangkat ke Belawan dengan tiga bus. Sampai di Belawan kami disambut dengan "upacara" yang mengejutkan. Maklum, ini adalah instalasi militer. Kami semua harus membuat fotokopi kartu penduduk, mengisi formulir, dan menjalani screening cepat. Prosedur ini tentu makan waktu yang tidak sedikit. Saya mulai "naik pitam". "Jangan khawatir," kata petugas di sana dengan santai. "Kapal baru berangkat besok siang."
Besok siang? Bukankah kami dijanjikan akan berangkat malam ini? Ternyata, proses memunggah barang ke KRI Teluk Peleng belum selesai. Saya sempat bertemu Komandan KRI Teluk Peleng Mayor Heru Supriyanto yang masih sibuk mengawasi pemunggahan barang untuk menyampaikan usul saya. "“Saya tahu kapal ini bisa mengangkut 200 ton barang. Tetapi, apa gunanya kita penuhi dan menunggu sampai besok siang atau sore bila selama itu korban terus berjatuhan di Meulaboh? Bukankah ada KRI Teluk Langsa yang juga akan menyusul berangkat ke Meulaboh? Mengapa tidak cukup kita membawa 50 ton dulu barang-barang yang paling dibutuhkan, dan segera berangkat ke sana?"
Dalam misi kemanusiaan, yang menjadi tolok ukur kita adalah manusia yang akan kita tolong. Dari pembicaraan tadi pagi dengan Brigjen Halim, saya ketahui bahwa TNI AL sudah mengirim pesawat untuk melakukan airdrop mi instan dan biskuit. "Air dan beras tidak bisa dijatuhkan karena akan pecah," katanya. Artinya, air dan beras masih menjadi kebutuhan yang sangat ditunggu para korban bencana di Meulaboh. Makan mi instan mentah dan biskuit saja belum sepenuhnya menolong mereka. Kecepatan kita mengirim bahan-bahan yang sangat ditunggu itu sangat menentukan. Bukan tonase barang yang akan kita bawa. Apa gunanya membawa 200 ton bila pada saat itu sudah bertambah ratusan orang mati dan jatuh sakit?
Mayor Heru rupanya sepakat dengan pemikiran saya. Ia langsung pergi menuju ke dalam kantor Lantamal I untuk membicarakannya. Keluar dari sana ia memberi tahu saya bahwa kapal akan diberangkatkan pukul tujuh pagi esok, dan kami diperintahkan segera naik kapal untuk istirahat.
Beberapa relawan sempat mengundurkan diri karena suasana keberangkatan yang tidak pasti. Dari 101 orang, jumlah yang akhirnya naik kapal hanya 90 orang. Kami tidak beristirahat. Kami malah turun lagi untuk membantu mempercepat pemunggahan barang-barang ke kapal.
Tepat tengah malam, sirene meraung-raung menandai pergantian tahun. Kami tidak melakukan apa-apa, dan terus bekerja memunggah barang. Kami terlalu sibuk untuk menandai kedatangan tahun baru. Tak ada toast dengan sampanye! Tak ada ciuman dari orang-orang terkasih.
Pukul dua dinihari, ketika pekerjaan dihentikan dan semua cranes disingkirkan, saya masih memaki-maki – lebih kepada diri sendiri. Mengapa kita harus istirahat dan tidur dulu? Tidak bisakah kita langsung berangkat saja? Mengapa kita membuang lima jam lagi?
Sabtu, 1 Januari 2005
Akhirnya, yang kami tunggu-tunggu menjadi kenyataan. Pukul 7.15, dua kapal pandu merapat ke lambung KRI Teluk Peleng dengan nomor lambung 535, dan menarik kami dari dermaga. Begitu tiba di perairan terbuka, KRI Teluk Peleng melaju dengan kecepatan penuh. Sejenak kami terkesima melihat para awak kapal melakukan peran hormat kepada para perwira yang melepas kami dari dermaga, dan juga ke KRI Teluk Langsa yang sedang masuk menuju dermaga Lantamal I di Belawan.
Beberapa menit kemudian, Wadanlantamal I Kolonel Sudarsono menelepon ke telepon seluler saya. Ia mengucapkan selamat jalan sambil menyarankan agar tim relawan tetap memakai KRI Teluk Peleng sebagai home base selama di Meulaboh. "Kami perlu bantuan Anda untuk membongkar muatan dari kapal. Itu akan makan waktu sekitar tiga hari. Sebagian tim bisa dikirim ke darat untuk membantu di sana. Nanti kalian pulang lagi ke Belawan dengan kapal yang sama," katanya. Saran yang sungguh membesarkan hati kami.
Saya segera berkoordinasi dengan Komandan Kapal, Mayor Heru Supriyanto. Ia ternyata telah menerima "instruksi" yang sama. Ia bahkan langsung menawarkan fasilitas dapur kapal untuk penyediaan masak bagi keperluan kami. "Kirim saja beras dan bahan lauk-pauk Anda ke dapur, dengan beberapa orang untuk membantu masak," katanya simpatik.
Sejak saat itu, saya tidak lagi merasa menjadi tamu. Selama 30 jam lebih di kapal, saya merasa telah menjadi akrab dengan Komandan Kapal dan beberapa perwira maupun awak kapal lainnya. Kami telah menjadi bagian dari misi kemanusiaan yang tengah dijalankan kapal ini. Dalam misi ini kami saling bergantung. Jalesveva Jayamahe!
Menjelang berangkat tadi, kami sempat melakukan perhitungan terakhir jumlah personel relawan yang berangkat. Ternyata dua orang lagi mengundurkan diri. Jumlah kami seluruhnya kini tinggal 88 orang. Angka keberuntungan dalam kepercayaan Tionghoa.
Menjelang Lhokseumawe, kami menangkap sinyal telepon seluler. Saya menerima dan mengirim beberapa pesan SMS. Istri saya mengirim pesan SMS. "Bantuan asing sudah masuk Meulaboh, kok kamu masih di laut, sih? Apa tidak terlambat?"
Di atas kapal, saya tak dapat memantau seberapa jauh bantuan sudah masuk Meulaboh. Tetapi, kapal ini membawa lebih dari 50 ton bahan pokok, seperti: air minum, beras, mi instan, makanan bayi, alat-alat masak, kasur, selimut, pakaian yang bisa menyelamatkan dan meringankan penderitaan ribuan orang. Saya menghitung setiap jam yang berlalu. Dengan kecepatan rata-rata 13 knot, perjalanan 400 mil laut dari Belawan ke Meulaboh akan ditempuh kapal berbobot mati 1900 ton ini selama 32 jam lebih. Ya, ampun!
Too little, too late. Ya, mungkin saja yang kami lakukan adalah terlalu kecil, itupun terlambat pula. Tetapi, in my humble opinion, yang kami lakukan tetap lebih baik daripada kekenyangan kalkun panggang di Jakarta dan hanya menonton dari televisi. Seperti kata Albert Einstein: only a life lived for others is a life worthwhile.(asy)
detikcom - Jakarta, Segera ke Aceh, itulah yang dilakukan Komisaris detikcom Bondan Winarno tidak lama setelah terjadi gelombang tsunami. Banyak kisah yang dialami mantan Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan, selama di Tanah Rencong itu.
Kisah-kisah Bondan Winarno akan redaksi muat secara berseri. Tulisan ini juga dimuat di Suara Pembaruan. Berikut tulisan seri kedua Bondan Winarno dengan judul Membuka Isolasi Meulaboh. Selamat mengikuti!
Jumat, 31 Desember 2004
Saya tekan keinginan untuk sarapan bihun bebek Kumango, dan langsung menuju ke Posko Nasional di Polonia. Sesuai dengan saran Letkol Alex Katung semalam, saya harus memperoleh persetujuan dari Lantamal I yang punya satgas di Posko Nasional untuk ikut naik kapal dari Sibolga ke Meulaboh.
Helikopter Chinook dari AU Singapura sedang siap bertolak. Beberapa pesawat lain turun-naik dalam jarak yang rapat. Relawan dari RRChina dengan seragam jingga siap diberangkatkan dengan pesawat.
Pukul 8.30, Brigjen (Mar) Halim, Komandan Lantamal I di Belawan, tiba di Posko. Saya langsung menemuinya. Brigjen Halim dengan cepat membuat keputusan. "Bagus. Tetapi, Anda tidak perlu berangkat dari Sibolga. Nanti sore ada KRI Teluk Peleng berangkat dari Belawan menuju Meulaboh. Naik itu saja!" (KRI Teluk Peleng jenis LST –landing ship tank – dibuat di Jerman Timur pada tahun 1972, dan dioperasikan oleh TNI AL sejak 1993 setelah kapal ini menjalani peremajaan dan pemodernan).
Things got better! Saya kembali ke kantor Sejahtera Ban untuk memantau perlengkapan yang dibeli. Beberapa karyawan di situ yang ikut melihat daftar perlengkapan, ternyata memberikan berbagai saran positif. Alhasil, kami putuskan untuk menambah lagi jenis dan jumlah barang yang dibeli. Dari sana saya ke Posko Nasional untuk meminjam empat tenda peleton dari Departemen Sosial yang akan kami pakai di Meulaboh.
Pukul lima sore, setelah upacara singkat di kantor PW Muhammadiyah, kami berangkat ke Belawan dengan tiga bus. Sampai di Belawan kami disambut dengan "upacara" yang mengejutkan. Maklum, ini adalah instalasi militer. Kami semua harus membuat fotokopi kartu penduduk, mengisi formulir, dan menjalani screening cepat. Prosedur ini tentu makan waktu yang tidak sedikit. Saya mulai "naik pitam". "Jangan khawatir," kata petugas di sana dengan santai. "Kapal baru berangkat besok siang."
Besok siang? Bukankah kami dijanjikan akan berangkat malam ini? Ternyata, proses memunggah barang ke KRI Teluk Peleng belum selesai. Saya sempat bertemu Komandan KRI Teluk Peleng Mayor Heru Supriyanto yang masih sibuk mengawasi pemunggahan barang untuk menyampaikan usul saya. "“Saya tahu kapal ini bisa mengangkut 200 ton barang. Tetapi, apa gunanya kita penuhi dan menunggu sampai besok siang atau sore bila selama itu korban terus berjatuhan di Meulaboh? Bukankah ada KRI Teluk Langsa yang juga akan menyusul berangkat ke Meulaboh? Mengapa tidak cukup kita membawa 50 ton dulu barang-barang yang paling dibutuhkan, dan segera berangkat ke sana?"
Dalam misi kemanusiaan, yang menjadi tolok ukur kita adalah manusia yang akan kita tolong. Dari pembicaraan tadi pagi dengan Brigjen Halim, saya ketahui bahwa TNI AL sudah mengirim pesawat untuk melakukan airdrop mi instan dan biskuit. "Air dan beras tidak bisa dijatuhkan karena akan pecah," katanya. Artinya, air dan beras masih menjadi kebutuhan yang sangat ditunggu para korban bencana di Meulaboh. Makan mi instan mentah dan biskuit saja belum sepenuhnya menolong mereka. Kecepatan kita mengirim bahan-bahan yang sangat ditunggu itu sangat menentukan. Bukan tonase barang yang akan kita bawa. Apa gunanya membawa 200 ton bila pada saat itu sudah bertambah ratusan orang mati dan jatuh sakit?
Mayor Heru rupanya sepakat dengan pemikiran saya. Ia langsung pergi menuju ke dalam kantor Lantamal I untuk membicarakannya. Keluar dari sana ia memberi tahu saya bahwa kapal akan diberangkatkan pukul tujuh pagi esok, dan kami diperintahkan segera naik kapal untuk istirahat.
Beberapa relawan sempat mengundurkan diri karena suasana keberangkatan yang tidak pasti. Dari 101 orang, jumlah yang akhirnya naik kapal hanya 90 orang. Kami tidak beristirahat. Kami malah turun lagi untuk membantu mempercepat pemunggahan barang-barang ke kapal.
Tepat tengah malam, sirene meraung-raung menandai pergantian tahun. Kami tidak melakukan apa-apa, dan terus bekerja memunggah barang. Kami terlalu sibuk untuk menandai kedatangan tahun baru. Tak ada toast dengan sampanye! Tak ada ciuman dari orang-orang terkasih.
Pukul dua dinihari, ketika pekerjaan dihentikan dan semua cranes disingkirkan, saya masih memaki-maki – lebih kepada diri sendiri. Mengapa kita harus istirahat dan tidur dulu? Tidak bisakah kita langsung berangkat saja? Mengapa kita membuang lima jam lagi?
Sabtu, 1 Januari 2005
Akhirnya, yang kami tunggu-tunggu menjadi kenyataan. Pukul 7.15, dua kapal pandu merapat ke lambung KRI Teluk Peleng dengan nomor lambung 535, dan menarik kami dari dermaga. Begitu tiba di perairan terbuka, KRI Teluk Peleng melaju dengan kecepatan penuh. Sejenak kami terkesima melihat para awak kapal melakukan peran hormat kepada para perwira yang melepas kami dari dermaga, dan juga ke KRI Teluk Langsa yang sedang masuk menuju dermaga Lantamal I di Belawan.
Beberapa menit kemudian, Wadanlantamal I Kolonel Sudarsono menelepon ke telepon seluler saya. Ia mengucapkan selamat jalan sambil menyarankan agar tim relawan tetap memakai KRI Teluk Peleng sebagai home base selama di Meulaboh. "Kami perlu bantuan Anda untuk membongkar muatan dari kapal. Itu akan makan waktu sekitar tiga hari. Sebagian tim bisa dikirim ke darat untuk membantu di sana. Nanti kalian pulang lagi ke Belawan dengan kapal yang sama," katanya. Saran yang sungguh membesarkan hati kami.
Saya segera berkoordinasi dengan Komandan Kapal, Mayor Heru Supriyanto. Ia ternyata telah menerima "instruksi" yang sama. Ia bahkan langsung menawarkan fasilitas dapur kapal untuk penyediaan masak bagi keperluan kami. "Kirim saja beras dan bahan lauk-pauk Anda ke dapur, dengan beberapa orang untuk membantu masak," katanya simpatik.
Sejak saat itu, saya tidak lagi merasa menjadi tamu. Selama 30 jam lebih di kapal, saya merasa telah menjadi akrab dengan Komandan Kapal dan beberapa perwira maupun awak kapal lainnya. Kami telah menjadi bagian dari misi kemanusiaan yang tengah dijalankan kapal ini. Dalam misi ini kami saling bergantung. Jalesveva Jayamahe!
Menjelang berangkat tadi, kami sempat melakukan perhitungan terakhir jumlah personel relawan yang berangkat. Ternyata dua orang lagi mengundurkan diri. Jumlah kami seluruhnya kini tinggal 88 orang. Angka keberuntungan dalam kepercayaan Tionghoa.
Menjelang Lhokseumawe, kami menangkap sinyal telepon seluler. Saya menerima dan mengirim beberapa pesan SMS. Istri saya mengirim pesan SMS. "Bantuan asing sudah masuk Meulaboh, kok kamu masih di laut, sih? Apa tidak terlambat?"
Di atas kapal, saya tak dapat memantau seberapa jauh bantuan sudah masuk Meulaboh. Tetapi, kapal ini membawa lebih dari 50 ton bahan pokok, seperti: air minum, beras, mi instan, makanan bayi, alat-alat masak, kasur, selimut, pakaian yang bisa menyelamatkan dan meringankan penderitaan ribuan orang. Saya menghitung setiap jam yang berlalu. Dengan kecepatan rata-rata 13 knot, perjalanan 400 mil laut dari Belawan ke Meulaboh akan ditempuh kapal berbobot mati 1900 ton ini selama 32 jam lebih. Ya, ampun!
Too little, too late. Ya, mungkin saja yang kami lakukan adalah terlalu kecil, itupun terlambat pula. Tetapi, in my humble opinion, yang kami lakukan tetap lebih baik daripada kekenyangan kalkun panggang di Jakarta dan hanya menonton dari televisi. Seperti kata Albert Einstein: only a life lived for others is a life worthwhile.(asy)
1 Comments:
saya salah satu relawan yang ikut mas bondan, mahasiawa IAIN-SU
Post a Comment
<< Home