Cara Jepang Hadapi Tsunami
Reporter: Maryadi
detikcom - Jakarta, Sebagai salah satu negara yang paling rawan gempa, Jepang mempunyai banyak pengalaman menghadapi tsunami. Indonesia bisa belajar dari pengalaman Jepang.
Istilah tsunami sendiri berasal dari bahasa Jepang, dan lukisan paling terkenal tentang tsunami dibuat oleh pelukis Jepang abad ke 18 bernama Hokusai, yang menggambarkan tsunami dengan latar belakang Gunung Fuji.
Di salah satu universitas di Jepang bahkan terdapat fakultas khusus yang mempelajari tsunami. Selain itu terdapat Jasa Peringatan Tsunami yang dibentuk pada tahun 1952 oleh Masyarakat Meteorologi Jepang (JMA).
Enam kantor regional menghubungkan 300 sensor di seluruh kepulauan Jepang, termasuk 80 sensor di dalam air yang secara terus menerus memantau getaran bumi. Kalau sebuah gempa bumi terlihat mempunyai potensi menimbulkan tsunami, dalam waktu tiga menit JMA akan mengeluarkan peringatan.
Peringatan itu disiarkan di semua stasiun radio dan televisi, dan bila perlu peringatan evakuasi akan diberikan. Target JMA adalah memberi waktu 10 menit bagi masyarakat yang berada dalam jalur tsunami untuk melakukan evakuasi.
Pemerintah lokal, pemerintah pusat, dan organisasi bantuan juga mendapat peringatan lewat saluran khusus agar mereka bisa cepat memberi tanggapan. Jaringan JMA ini begitu canggih sehingga mampu meramal ketinggian, kecepatan, tujuan dan waktu datangnya tsunami di wilayah Jepang.
Biaya Sistem
Dasar dari sistem peringatan mutakhir ini adalah izin pendirian bangunan yang ketat sebagai perlindungan dari tsunami dan gempa bumi. Selain itu terdapat perencanaan anti bencana alam yang bagus, sehingga korban bencana alam di Jepang relatif kecil.
Ketika sebuah tsunami setinggi 30 meter menghantam pulau Hokkaido di Jepang Utara pada tahun 1993, hanya 293 orang meninggal akibat tsunami dan gempa bumi.
Warga Jepang berterima kasih kepada tembok tsunami, bangunan-bangunan yang kokoh dan kesadaran atas bahaya tsunami, atas nasib baik ini. Pada bencana tahun 1993, meski JMA sudah mengeluarkan peringatan dalam waktu lima menit, gempa bumi itu sangat dekat sehingga begitu peringatan dikeluarkan, gelombang sudah menghantam.
Seperti yang dikutip BBC, seorang warga yang selamat dari gempa bumi Kobe pada tahun 1995, Makoto Hikida, mengatakan, "Kami percaya kepada JMA, kerja mereka bagus dalam menyelamatkan masyarakat. Kalau negara-negara seperti Sri Lanka mempunyai sistem seperti kami, mungkin orang yang selamat jauh lebih banyak,".
Sistem peringatan di Jepang diperbaiki terus menerus. Pada tahun 1999, negara itu memperkenalkan model prakiraan tsunami yang baru. Sistem baru ini memang mahal, biaya pemakaiannya sekitar US$ 20 juta per tahun. Untuk negara makmur seperti Jepang biaya itu tidak seberapa, tapi mahal bagi negara-negara miskin.
Seperti disadari warga Hokkaido, bukan hanya sistem peringatan dini yang bisa menyelamatkan nyawa. Di prefektur Shizuoka yang terletak di pantai Timur Jepang yang rawan tsunami, terdapat 258 tempat perlindungan anti tsunami dan gempa di sepanjang pantai. Kota-kota pesisir lainnya sudah membangun tanggul anti banjir agar air dari tsunami tidak masuk ke pedalaman melalui sungai dan menimbulkan kerusakan.
Tembok-tembok tsunami juga mengelilingi bagian pantai lainnya untuk mencegah timbulnya kerusakan. Tetapi tembok-tembok ini biasanya cuma beberapa meter tingginya, sehingga tidak akan melindungi sepenuhnya dari tsunami di Lautan Hindia bulan lalu.
Jadi meski Jepang memiliki segala macam sistem perlindungan dan peringatan, negara itu tetap menghadapi risiko tsunami. Menurut perkiraan pemerintah, dalam skenario terburuk dimana terjadi tiga gempa bumi kuat secara simultan, 12.700 orang bisa tewas akibat tsunami yang timbul kemudian.
Karena sebagian gempa bumi bawah laut terjadi hanya beberapa kilometer dari lepas pantai, tsunami bisa menghantam daratan hanya dalam waktu lima menit. Sistem yang tercanggih sekarang tidak akan bisa berbuat apa-apa menghadapi kejadian semacam itu.(mar)
detikcom - Jakarta, Sebagai salah satu negara yang paling rawan gempa, Jepang mempunyai banyak pengalaman menghadapi tsunami. Indonesia bisa belajar dari pengalaman Jepang.
Istilah tsunami sendiri berasal dari bahasa Jepang, dan lukisan paling terkenal tentang tsunami dibuat oleh pelukis Jepang abad ke 18 bernama Hokusai, yang menggambarkan tsunami dengan latar belakang Gunung Fuji.
Di salah satu universitas di Jepang bahkan terdapat fakultas khusus yang mempelajari tsunami. Selain itu terdapat Jasa Peringatan Tsunami yang dibentuk pada tahun 1952 oleh Masyarakat Meteorologi Jepang (JMA).
Enam kantor regional menghubungkan 300 sensor di seluruh kepulauan Jepang, termasuk 80 sensor di dalam air yang secara terus menerus memantau getaran bumi. Kalau sebuah gempa bumi terlihat mempunyai potensi menimbulkan tsunami, dalam waktu tiga menit JMA akan mengeluarkan peringatan.
Peringatan itu disiarkan di semua stasiun radio dan televisi, dan bila perlu peringatan evakuasi akan diberikan. Target JMA adalah memberi waktu 10 menit bagi masyarakat yang berada dalam jalur tsunami untuk melakukan evakuasi.
Pemerintah lokal, pemerintah pusat, dan organisasi bantuan juga mendapat peringatan lewat saluran khusus agar mereka bisa cepat memberi tanggapan. Jaringan JMA ini begitu canggih sehingga mampu meramal ketinggian, kecepatan, tujuan dan waktu datangnya tsunami di wilayah Jepang.
Biaya Sistem
Dasar dari sistem peringatan mutakhir ini adalah izin pendirian bangunan yang ketat sebagai perlindungan dari tsunami dan gempa bumi. Selain itu terdapat perencanaan anti bencana alam yang bagus, sehingga korban bencana alam di Jepang relatif kecil.
Ketika sebuah tsunami setinggi 30 meter menghantam pulau Hokkaido di Jepang Utara pada tahun 1993, hanya 293 orang meninggal akibat tsunami dan gempa bumi.
Warga Jepang berterima kasih kepada tembok tsunami, bangunan-bangunan yang kokoh dan kesadaran atas bahaya tsunami, atas nasib baik ini. Pada bencana tahun 1993, meski JMA sudah mengeluarkan peringatan dalam waktu lima menit, gempa bumi itu sangat dekat sehingga begitu peringatan dikeluarkan, gelombang sudah menghantam.
Seperti yang dikutip BBC, seorang warga yang selamat dari gempa bumi Kobe pada tahun 1995, Makoto Hikida, mengatakan, "Kami percaya kepada JMA, kerja mereka bagus dalam menyelamatkan masyarakat. Kalau negara-negara seperti Sri Lanka mempunyai sistem seperti kami, mungkin orang yang selamat jauh lebih banyak,".
Sistem peringatan di Jepang diperbaiki terus menerus. Pada tahun 1999, negara itu memperkenalkan model prakiraan tsunami yang baru. Sistem baru ini memang mahal, biaya pemakaiannya sekitar US$ 20 juta per tahun. Untuk negara makmur seperti Jepang biaya itu tidak seberapa, tapi mahal bagi negara-negara miskin.
Seperti disadari warga Hokkaido, bukan hanya sistem peringatan dini yang bisa menyelamatkan nyawa. Di prefektur Shizuoka yang terletak di pantai Timur Jepang yang rawan tsunami, terdapat 258 tempat perlindungan anti tsunami dan gempa di sepanjang pantai. Kota-kota pesisir lainnya sudah membangun tanggul anti banjir agar air dari tsunami tidak masuk ke pedalaman melalui sungai dan menimbulkan kerusakan.
Tembok-tembok tsunami juga mengelilingi bagian pantai lainnya untuk mencegah timbulnya kerusakan. Tetapi tembok-tembok ini biasanya cuma beberapa meter tingginya, sehingga tidak akan melindungi sepenuhnya dari tsunami di Lautan Hindia bulan lalu.
Jadi meski Jepang memiliki segala macam sistem perlindungan dan peringatan, negara itu tetap menghadapi risiko tsunami. Menurut perkiraan pemerintah, dalam skenario terburuk dimana terjadi tiga gempa bumi kuat secara simultan, 12.700 orang bisa tewas akibat tsunami yang timbul kemudian.
Karena sebagian gempa bumi bawah laut terjadi hanya beberapa kilometer dari lepas pantai, tsunami bisa menghantam daratan hanya dalam waktu lima menit. Sistem yang tercanggih sekarang tidak akan bisa berbuat apa-apa menghadapi kejadian semacam itu.(mar)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home