Wednesday, October 20, 2004

Al Azhar, Presiden Riau Merdeka

Jakarta, KCM

Al! Begitulah lelaki bernama lengkap Al Azhar itu dipanggil. Tinggi sekitar 170 cm, dengan misai dan jenggot menghiasi wajahnya.

Ah ya, dasi dan baju licin berseterika juga tak pernah ketinggalan melengkapi penampilannya. Dan..., rokok marlboro pun tiada pernah absen diisapnya, di mana pun juga, termasuk di ruang kerjanya yang ber-AC, di Dewan Kesenian Riau, di mana Al menjabat sebagai ketuanya.

Al Azhar, inilah orangnya yang yang mendapat sebutan sebagai Presiden Riau Merdeka, sebuah terminologi yang amat dibenci oleh pemerintah pusat (Jakarta), namun amat digemari oleh masyarakat Riau.

Satu sisi, Jakarta sebagai kata ganti pemerintah pusat, tentu tak ingin kekuasaannya atas Riau yang bisa berarti minyak, kayu, timah dan sumber daya alam lainnya akan berkurang atau bahkan hilang jika Al Azhar berhasil mengkonkretkan sebutannya itu ke dalam tataran yang praktis, yakni Riau Merdeka.

Tapi di sisi lain, kehadiran Al bagi masyarakat Riau justru menjadi semacam katarsis bagi kemampatan hidup mayoritas masyarakat Riau yang mestinya bisa hidup makmur dari ladang-ladang minyak yang ada di Provinsi Riau, tapi sebagian di antaranya malah terusir dari tanah yang diwariskan oleh kakek-moyang mereka.

Al..., Al Azhar,...

Entahlah, apakah di dasar hatinya yang terdalam memang ada semangat yang besar untuk menjadi seorang prresiden. Tapi dari luar, prasarat untuk menjadi seorang presiden rasanya memang ada.

Dandanan rapi, penampilan berwibawa, barangkali itulah persamaannya antara Presiden Riau Merdeka dan presiden mana pun, termasuk presiden RI. Susah dihubungi, itu juga persamaan lainnya. Yang membedakannya barangkali, kalau presiden RI susah dihubungi lantaran terhambat oleh birokrasi, sementara Al Azhar susah dihubungi biasanya karena kerap ia kehabisan pulsa. Begitulah biasanya Al mengolok-olok dirinya sendiri.

* * *
Tahun 1994, dalam sebuah perjalanan penelitian untuk tugas akademik di Universitas Leiden, berkumpul sekitar 20 orang mahasiswa di bawah pohion akasia yang tumbuh di depan kampus Universitas Riau. Di sanalah awal mula gerakan menuju "Riau merdeka" mulai mengkristal.

Tapi, kata Al, sebetulnya, embrio pemikiran Riau Merdeka itu sudah dimulai sejak tahun 1987. Kendati Al pergi sekolah ke Belanda pada tahun 1989, diskusi tentang "Riau Merdeka" tetap intensif dijalankan.

Selain membahas wacana Riau Merdeka, diskusi tersebut juga membahas resistensi Riau, persoalan Batam yang dinilai oleh Al dan kawan-kawan merupakan negara di dalam negara, peminggiran masyarakat pribumi di Batam, itu semua dijadikan simbol oleh Al dan kawan-kawan, betapa pusat tidak peduli kepada masyarakat setempat.

"Kita merasa Indonesia sudah keluar dari tradisi ekonomi yang pada tahun 1920 disebut sebagai dualisme ekonomi, yakni sosialistik dan kapitalistik. Khusus untuk Riau, dimensi sosialistiknya diabaikan habis. Simbolnya adalah menjadikan Batam sebagai otorita yang bisa diterjemahkan penguasanya pasti seorang yang otoriter," ujar Al.

Lalu, sambung Al, tidak terakomodasinya orang-orang Batam yang menjadikan seluruh pulau Batam dijadikan sebagai kawasan otorita, dan orang-orang setempat yang tinggal di pinggir-pinggir pantai serta hak-haknya diambil.

"Mereka tiba-tiba jadi penumpang di pulau itu. Semua alasan yang dikemukakan adalah alasan kapitalistik."

Tentu, Al juga mengaku dirinya tak bergerak sendiri. Banyak elemen masyarakat yang bahu-membahu memperjuangkan "Riau Merdeka". Salah satu di antaranya adalah para sastrawan yang memunculkan isu ini dalam cerita.

Sastrawan seperti BM Syamsudin pernah menulis cerpen Nong Sahena yang menggambarkan, betapa kebun-kebun kelapa diganti-rugi dengan harga murah dan mereka juga dipindahkan, sementra bekas mereka tinggal dijadikan hotel-hotel mewah dan lapangan golf.

"Batam hanya contoh. Ketika kita memperluas geografi diskusi itu, yang di Batam mewakili kejadian-kejadian di kawasan lain di Riau."

Sebelum gagasan-gagasan itu mengerecut menjadi bahasa perjuangan menuju "Riau Merdeka", teriakan Al dan kawan-kawan juga sudah lantang, bahkan jauh hari ketika negeri ini belum seterbuka kini. Saat rezim Orde Baru masih berkuasa, Al dan kawan-kawan bahkan menjadi langganan yang masuk daftar cekal, kendati tak sampai dipenjara.

"Karena teriakan-teriakan kita tak pernah mengubah apa-apa, maka tak ada jalan lain kecuali kita berpikir kemerdekaan."

Dalam wacana yang halus, kemerdekaan yang dimaksud adalah dalam konteks berpikir, mempertahankan hak. "Itu sebab, setelah reformasi bergulir, kita bukan cuma mempertahankan hak, tapi juga menuntut hak atas apa yang sudah dihisap dari kita."

Wacana tersebut akhirnya menemukan bentuknya setelah didiskusikan waktu demi waktu sejak tahun 1998. Muaranya adalah, menagih apa-apa yang sudah diambil pusat dengan cara-cara yang tidak didialogkan lebih dulu.

Inilah sebetulnya yang menjadi pemicu, mengapa Kongres Rakyat Riau pada tahun 2000 terjadi. Dan benar, dari kongres ini muncul sesuatu yang telah diduga sebelumnya, yakni menangnya opsi Riau merdeka.

Meski masih samar, tapi jelas bahwa di sana terdapat akumulasi ketidakpuasan yang mengantarkan pada tatanan konkret berpikir dan bergerak untuk redistribusi aset yang bisa diartikan secara halus maupun secara radikal.

"Ujudnya bisa land reform untuk tanah. Kebun-kebun dibagikan ke rakyat. Ini bisa dimulai dari masyarakat di sekitar perusahaan-perusahaan raksasa. "Kami duduki perusahaan anda atau kita berbagi keuntungan."

"Kalau redistribusi aset sudah kita diskusikan dengan perusahaan-perusahaan itu, hasilnya yang adalah meningkatnya community development berupa dana hibah. Tapi di kalangan perusahaan sendiri mereka tetap yang menentukan kriterianya."

"Kriteria yang dipakai adalah powerful, maka program community development cuma memenuhi hasrat honky ponky bussiness," ungkap Al yang menamatkan Sekolah Dasar (SD) di Dalu-dalu (1972), Sekolah Menengah Pertama (SMP) Di Pasir Pengarayan (1975), Sekolah Menengah Atas (SMA) di Pekanbaru (1979).

Pada mulanya, ujar Al, sebenarnya bukan dirinya yang mendapat sebutan presiden Riau Merdeka, tapi Prof. Tabrani.

Baru, sesudah tahun 1999, meski dalam kelompok kecil, Al mulai mendapat gelar itu. Terlebih, ketika Tabrani masuk ke Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Tamat sudah riwayat Tabrani sebagai "Presiden Riau Merdeka".

Akhirnya semua mata tertuju kepada Al, terutama ketika Al mengorganisir orang-orang dari Aceh dan Papua untuk membicarakan nasib ketiga daerah. "Dari pertemuan itu, kami mendapat kesimpulan bahwa ada keinginan untuk merdeka dan cara-cara yang ditempuh untuk merdeka diambil dengan cara-cara yang dipilih oleh masing-masing daerah. Sementara untuk Riau sendiri kami sepakati untuk tidak memilih jalan kekerasan," ungkap lelaki kelahiran Dalu-dalu Tambusai - Rokan Hulu, Riau, 17 Agustus 1961.

* * *
Al...Al Azhar, buat Riau, lelaki ini memang pantas dijadikan ikon. Ia tak cuma akrab dengan kalangan "tua", tapi juga dekat dengan anak-anak muda di Riau. Di luar itu, Al Azhar adalah seorang intelektual yang memiliki pengalaman yang tak boleh diremehkan.

Setelah lulus SMA, ia melanjutkan pendidikan tinggi di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastera Indonesia pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Riau Pekanbaru (tamat tahun 1985).

Pada tahun 1988 Al menyertai workshop pengkajian naskhah Melayu, anjuran bersama Universitas Riau, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Leiden, dan belajar di sana sejak tahun 1989-1992. Pada masa dan oleh universitas yang sama, dilantik menjadi pensyarah pada Dept. of Languages and Cultures of SEA & Oceania.
Beberapa tahun pulang balik Riau - Belanda, menjalankan aktivitas akademik dalam bidang ilmu-ilmu budaya dan kemanusiaan. Menubuhkan Pusat Pengajian Melayu (Center for Malay Studies) Universitas Islam Riau.

Kemudian, ia juga menyusun direktori perbendaharaan tradisi lisan Melayu di Riau. Pada tahun 1995 menerbitkan buku In everlasting frienship: letters from Raja Ali Haji, seri Semaian 13 Leiden (bersama Jan vd Putten).

Menulis kertas kerja bertajuk "Malayness in Riau: study and revitalization of identity" dan membentangkannya dalam seminar Riau in Transition (anjuran International Institute for Asian Studies State University of Ledian Netherlands).

Menyertai dan membentangkan kertas kerja dalam berbagai seminar, konferensi, dan simposium yang diselenggarakan berbagai lembaga akademik dan budaya (seperti Masyarakat Pernaskhahan Nusantara, Asosiasi Tradisi Lisan, The Association of Asian Studies, dll) di Riau, Jakarta, Yogyakarta, Singapura, Chicago, dll negeri/negara. Sekarang sedang menulis PhD-thesis bertajuk The garden of writing traduition: 19 th century Penyengat island and its intellectual life & influences in Alam Melayu.

Al Azhar, adalah pribadi yang di dalamnya bermuara beragam cita-cita. Sebagai warga Riau, ia jelas ingin melihat Riau makmur. Tapi sebagai pribadi, ia adalah pemuja kesenian, mulai dari sastra, teater, hingga orkestra.

Sejak sekolah menengah atas, Al melibatkan diri dalam perkembangan seni di Riau, sebagai pelakon, pengarah drama, pengelola peristiwa-peristiwa seni-budaya.

Tahun 1996, mengetuai kegiatan Hari Raja Ali Haji di Pulau Penyengat. Tahun 2000, bersama rekan-rekan, menyelenggarakan Kenduri Seni Melayu I di Batam, dan Kenduri Seni Melayu II di Batam, tahun 2001.

Ahli komite teater, kemudian Ketua Bidang Program Dewan Kesenian Riau (sampai tahun 2001). Penjabat Ketua Harian Yayasan Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai), dari tahun 2001.

Menumbuhkan Bandar SeraiOrchestra, tahun 2002. Dan berbagai kegiatan kebudayaan lainnya. Ketua Harian Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR) Periode Tahun 2003-2007, Ketua Badan Pekerja Kongres Rakyat Riau II (BPKRR).

* * *
Saat ditanya, apakah dirinya benar-benar siap menjadi seorang presiden jika Riau benar-benar merdeka?

Sambil memandang tajam, ia menjawab, "Satu hari setelah pelantikan menjadi presiden, saya langsung akana mengeluarkan dekrit. Isinya, saya langsung akan mengundurkan diri sebagai presiden."

Apa kata Al berikutnya? Baginya, menjadi pekerja seni adalah lebih mulia ketimbang menjadi seorang presiden. (jodhi yudono)



0 Comments:

Post a Comment

<< Home