Saturday, August 28, 2004

''Mirror Deface'', ''Penumpang Gelap'' Situs Resmi

Kompas/Iptek/Minggu, 27 Januari 2002

ISTILAH mirror deface berasal dari dua kata dalam bahasa Inggris. Mirror yang berarti cermin dan deface yang berarti menodai atau mengotori. Mirror deface kemudian menjadi istilah bagi tampilan situs yang telah "dinodai" atau diubah oleh orang lain tanpa seizin pengelola situs. Tampilan itu biasanya tidak ada hubungannya dengan isi utama situs tersebut.
Aktivitas deface tentu tak dapat dilepaskan dari hacker dan cracker. Istilah hacker lebih tepat digunakan untuk orang-orang yang punya keahlian memperbaiki kelemahan suatu sistem komputer, sedang cracker suka merusak atau menghilangkan data dan menyebabkan kekacauan umum di tempat-tempat yang berhasil ditembusnya. Jadi hacker sebaiknya tidak dikacaukan dengan cracker, meskipun keduanya menjadi wacana umum di jagat cyber.
Aktivitas deface di Indonesia tumbuh bersama kemajuan teknologi informasi, sehingga membuat format tampilan terasa lebih dinamis. Situs detik.com adalah yang paling banyak memantau persoalan ini. Salah satu desain yang unik "dititipkan" pada situs milik Deparsenibud tahun 2000 lalu. Kedua halaman depan situs tersebut diganti torehan pesan menggunakan Macromedia Flash. Sehingga dapat dilihat pemunculan dinamis kata demi kata yang diselingi suara tertawa apabila komputer kita memiliki soundcard.

Awal tahun 1990-an, pesan-pesan hacker hanya berbunyi "I was here" atau "Hacker's rule" guna menunjukkan keberadaan sebuah eksistensi. Saat ini banyak hacker berupaya menyebarkan pesan-pesan penyadaran sosial dan budaya dari lingkungan mereka.
Namun, tetap saja ada yang menumpang untuk persoalan pribadi, patah hati misalnya. Sebuah situs gerai terbesar di Indonesia pernah menjadi sasarannya. Tulisan nama gerai di sebelah logo diganti dengan nama seseorang. Lalu di bagian bawahnya tertulis I really love you so much.
Aktivitas deface ini, sayangnya, tidak diikuti dengan peraturan yang memadai. RUU teknologi informasi misalnya, baru akan diajukan ke DPR tahun ini. Padahal, aktivitas deface di Indonesia terus berkembang. Satu kelompok hacker yang dikenal karena aktivitas ini adalah AntiHackerlink, selain masih banyak kehadiran kelompok lain. Satu garis jelas yang bisa ditarik dari aktivitas deface ini adalah kebutuhan manusiawi dari kreatornya untuk berkomunikasi.
Area perseteruan
Umum dipahami, maraknya aktivitas deface disebabkan oleh kelengahan administrator situs Internet. Namun, kemunculannya juga bisa dipicu oleh perseteruan geng-geng hacker. Ini adalah bentuk lain dari pertentangan antarkelompok di dunia nyata. Mereka bertarung dengan saling menitipkan pesan sengit pada halaman situs kelompok lain. Isu-isu dikirimkan dan nama inisial digunakan sebagai identitas.
Beberapa situs politik Malaysia pada halaman depannya pernah diganti gambar tengkorak dan kata-kata hujatan. Junior Hacker, nama pengirimnya, mem-posting beberapa gambar porno. Di detik.com disinyalir, itu merupakan dukungan untuk memenjarakan Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia yang sedang diadili atas tuduhan korupsi dan kejahatan seksual.
Satu babak pertentangan antarkelompok hacker Indonesia yang aktif memanfaatkan deface terjadi selama tahun 2000. Dengan alasan ideologis, sekelompok hacker bernama IRC mengawali pertentangan ini dengan menuntut dibubarkannya kelompok lain.
Kelompok AntiHackerlink menuntut dibubarkannya Hackerlink karena dianggap mencampuradukkan kepentingan bisnis dengan pertukaran pengetahuan tentang teknologi informasi, khususnya sistem pengamanan situs. Sebelum tuntutan mereka dipenuhi, mereka akan tetap menyerang situs-situs berdomain Indonesia atau .id.
Media protes sosial
Perkembangan selanjutnya menjadi lain jika dilihat dari sisi komunikasi. Diakui atau tidak, deface menjalankan fungsi penyampaian pesan seprti reklame, poster, spanduk, atau selebaran. Layaknya grafiti, tak ada perizinan rumit dan pembiayaan yang tinggi.
Situs-situs kini menjadi sasaran penyampaian pesan-pesan reflektif terhadap persoalan di masyarakat. Saat uang Rp 500 juta, ribuan foto, dan poster, tak juga membuat Tommy Soeharto keluar dari persembunyian, situs Internet menjadi salah satu media tambahan. Maka jangan heran bila situs www.netvisioncorp.com pernah dititipi foto brewokan si "Ibrahim".
Tampilan deface juga memuat tuntutan penyelesaian kasus Sampit, dan perlindungan terhadap orangutan yang kian terancam punah karena perburuan dan kebakaran hutan. Ada pula pesan "bebaskan frekuensi 2,4 Ghz jangan dimonopoli" sebagai protes terhadap kebijakan pengaturan bersama pemakaian frekuensi tersebut (seperti tertuang dalam SK No 241/DIRJEN/2000 dari Dirjen Postel). Dengan SK itu biaya penggunaan frekuensi 2,4-2,8 Ghz yang dulu hanya Rp 1 juta/tahun dinaikkan menjadi Rp 2,5 juta/tahun, untuk bandwidth 2 Mhz Rp 10 juta/tahun, untuk bandwidth 10 Mhz Rp 25 juta/tahun, dan seterusnya.
Mengkhawatirkan
Maraknya aktivitas deface tentu saja mengkhawatirkan kalangan pengelola situs. Alasannya, para pelaku telah melakukan tindakan ilegal menyusup ke jaringan keamanan internal sebuah situs, sehingga akan mengarah kepada fenomena cybercrime.
Pencurian terhadap data-data penting misalnya, suatu saat bisa terjadi. Di sisi lain, ini mengganggu privasi. Apalagi para pelaku ini biasanya mengganti halaman depan situs-situs. Jika grafiti hanya bisa diakses oleh orang yang melewati jalan tertentu, maka deface dapat diakses siapa pun di dunia ini yang membuka situs tersebut. Deface memenuhi syarat penyebaran pesan sosial secara massal.
"Hacktivisme lebih berbahaya daripada protes secara fisik. Dengan satu kelompok aktivis, saya barangkali bisa memblokir dua atau tiga restoran di kota saya. Tapi memblokir satu web site sama halnya dengan memblokir pintu masuk setiap restoran dalam jaringan perusahaan itu di seluruh dunia," kata Ben Venzke, Direktur Intelligence Production IDefense, sebuah perusahaan security komputer di Fairfax, Venezuela, mengumpamakan.
Walau begitu, ada juga sebagian pengasuh situs yang justru akan berterima kasih dengan fenomena ini. Mereka berpendapat aktivitas deface merupakan peringatan untuk meningkatkan keamanan situs yang mereka asuh.

(Ichwan Chasani, mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Massa, Fisipol Universitas Sebelas Maret Surakarta, mengamati aktivitas deface untuk skripsi)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home