Monday, August 23, 2004

"Mirror Deface", "Penumpang Gelap" Situs Resmi

Kompas

Minggu, 27 Februari 2001

Apa jadinya bila “teman dekat” Anda ditahan karena kesalahan yang tidak diketahuinya? Dia tidak di Polresta, tapi di luar negeri. Sekelompok hacker menyikapinya dengan “menitip pesan” pada beberapa situs di sana. Satu halaman penuh animasi berlatar belakang warna hitam menutupi halaman depan situs-situs itu. Huruf-huruf merah dan putih membentuk kalimat singkat "Do not mess with Indonesian Hackers", …, "Or We Will F*!k Singapore Server" bergantian timbul tenggelam.

Istilah mirror deface berasal dari dua kelompok kata yang dikenal dalam bahasa Inggris. Mirror yang berarti cermin dan deface yang berarti menodai atau mengotori. Mirror deface kemudian menjadi istilah yang ditujukan bagi tampilan situs yang telah “dinodai” atau diubah oleh orang lain tanpa seijin pengelola situs. Biasanya tidak berhubungan dengan mainstream isi situs tersebut.
Membicarakan aktivitas deface tak lepas dari pemahaman akan hacker dan cracker. Istilah hacker merujuk kata “hacking”, usaha menembus sistem keamanan yang terdapat dalam server. Juga menelusuri kelemahan sistem keamanannya. Tak jarang begitu mengetahui kelemahan suatu situs, hacker langsung memperbaikinya dengan berusaha tidak meninggalkan jejak apapun. Hacking kemudian hanya sekedar menjadi sarana mempelajari sistem keamanan situs.
Hacking dan cracking menjadi wacana umum di jagad cyber. Namun etika, nilai, dan regulasi yang mengatur masyarakat misterius ini jarang diangkat ke permukaan. Sebuah sub kultur yang eksis di jejaring maya dengan nilai dan etika sendiri.
Stereotipe media dan masyarakat terhadap hacker umumnya dekat pada sifat merusak, dengki, dan jahat. Stereotipe itu dikenakan pada remaja belasan tahun yang duduk di belakang komputer selama berjam-jam semalam, menerobos sistem dan menghapus atau menghancurkan apapun yang bisa mereka lakukan. Mereka ini dikenal sebagai cracker, jangan dikacaukan dengan hacker. Para cracker itu, menghilangkan data, dan menyebabkan kekacauan umum “kemana pun mereka pergi.”
Aktivitas deface di Indonesia tumbuh bersama kemajuan teknologi informasi. Ini membuat format tampilan terasa lebih dinamis. Salah satu desain yang unik “dititipkan” pada situs milik Deparsenibud tahun 2000 lalu. Kedua halaman depan situs tersebut diganti torehan pesan menggunakan Macromedia Flash. Sehingga dapat dilihat pemunculan dinamis kata demi kata yang diselingi suara tertawa apabila komputer kita memiliki soundcard. (http:www.detik.com/net, 14/04/2000)
Awal tahun 1990-an, pesan-pesan hacker hanya berbunyi “I was here” atau “Hacker rule” guna menunjukkan keberadaan sebuah eksistensi. Saat ini banyak hacker menggunakan trik dalam menyebarkan pesan-pesan penyadaran sosial, dan budaya dari lingkungan mereka. Bahkan untuk persoalan pribadi, patah hati misalnya. Sebuah situs gerai terbesar di Indonesia pernah menjadi sasarannya. Tulisan nama gerai disebelah logo diganti menjadi tulisan nama seseorang. Lalu di bagian bawahnya tertulis 'I really love you so much'. (http://www.detikcom/net, 28/10/2000)
Maraknya aktivitas deface mengkhawatirkan kalangan pengelola situs. Alasan-nya, mereka telah melakukan tindakan ilegal menyusup ke jaringan keamanan internal sebuah situs. Ini akan mengarah kepada fenomena cybercrime. Pencurian terhadap data-data penting dikhawatirkan. Di satu sisi, ini mengganggu privasi. Namun jangan salah sangka, sebagian webhosting justru akan berterima kasih dengan fenomena ini. Mereka berpendapat hal ini merupakan warning baginya untuk meningkatkan keamanan situs yang mereka asuh.
Namun dunia maya bukanlah wilayah seperti kelurahan yang mudah diatur. Tampaknya pemerintah kita pun masih akan lama menjangkau gejala perkembangan dunia TI ini. RUU TI kelihatannya baru akan diajukan ke DPR awal tahun 2002. (Kompas, 27/11/2001: RUU Teknologi Informasi: Percepatan Kadaluwarsa?)
Sementara aktivitas deface di Indonesia terus berkembang. Satu kelompok hacker yang dikenal karena aktivitas ini adalah AntiHackerlink. Dan masih banyak kelompok lain yang menjalankan hal serupa.
Meski demikian, satu garis jelas bisa ditarik dari aktivitas deface ini. Walau berbeda latar belakang, ada kebutuhan manusiawi dari kreatornya untuk berkomunikasi. Dalam ruang dan waktu yang kian rigid, masih ada media yang bisa menjembatani.

Memindah area perseteruan.
Umum dipahami, maraknya aktivitas deface disebabkan kelengahan administrator situs internet. Namun kemunculannya bisa dipicu oleh perseteruan geng-geng hacker. Ini adalah bentuk lain dari pertentangan antarkelompok di dunia nyata.
Deface bisa menandai adanya perlawanan. Ketika suatu kelompok menitipkan pesan sengit pada halaman situs kelompok lain, bisa diartikan itu adalah perlawanan. Isu-isu dikirimkan dan nama inisial digunakan sebagai identitas.
Beberapa situs politik Malaysia pada halaman depannya pernah diganti gambar tengkorak dan kata-kata hujatan. Junior Hacker, nama pengirimnya, mem-posting beberapa gambar porno. Disinyalir itu merupakan dukungan untuk memenjarakan Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia yang sedang diadili atas tuduhan korupsi dan kejahatan seksual. (www.detik.com/net, 12/06/2000.)
Satu babak pertentangan antarkelompok hacker Indonesia yang aktif memanfaat-kan deface terjadi selama tahun 2000 lalu. Berawal dari IRC, sekelompok hacker menun-tut dibubarkannya kelompok lain. Persoalan ideologis menjadi alasan. Antihackerlink menuntut dibubarkannya Hackerlink karena dianggap mencampuradukkan kepentingan bisnis dengan pertukaran pengetahuan tentang teknologi informasi; khususnya sistem pengamanan situs. Sebelum tuntutan mereka dipenuhi, mereka akan tetap menyerang situs-situs berdomain Indonesia ID (detikcom).

Media protes sosial
Perkembangan selanjutnya menjadi lain jika dilihat dari sisi komunikasi. Diakui atau tidak, deface menjalankan fungsi penyampaian pesan, layaknya reklame, poster, spanduk atau selebaran. Layaknya grafiti, tak ada perizinan rumit, dan pembiayaan yang tinggi. Namun melihat perjalanan dewasa ini tidak sesederhana itu. Deface, seperti halnya grafiti, kelak akan berhadapan dengan “otoritas” yang dia sendiri melawannya atas nama kebebasan. Kebebasan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (Amandemen Kedua UUD 1945 Pasal 28F).
Situs-situs kini menjadi sasaran penyampaian pesan-pesan reflektif terhadap persoalan di masyarakat. Saat uang Rp 500 juta, ribuan foto, dan poster, tak juga membuat Tommy Soeharto keluar dari persembunyian, situs internet menjadi salah satu media tambahan. Maka jangan heran bila situs www.netvisioncorp.com pernah dititipi foto brewokan si “Ibrahim”
Tampilan deface juga memuat tuntutan penyelesaian kasus Sampit, dan perlindungan terhadap Orang Utan yang kian terancam punah karena perburuan dan kebakaran hutan. Juga memuat pesan “bebaskan frek 2,4 GHz jangan dimonopoli” sebagai protes terhadap kebijakan pengaturan bersama pemakaian frekuensi tersebut (seperti tertuang dalam SK No 241/DIRJEN/2000 dari Dirjen Postel). Dengan SK itu biaya penggunaan frekuensi 2,4-2,8 Ghz yang dulu hanya Rp1 juta/tahun dinaikan menjadi Rp2,5 juta/tahun, untuk bandwith 2 Mhz, Rp10 juta/tahun, untuk bandwith 10 Mhz dan Rp25 juta/tahun, untuk bandwith 20 Mhz).
Namun hacktivisme (sebutan hacking sekaligus aktifis sosial) dengan metode deface mengkhawatirkan banyak pihak. Kekhawatiran terbesar adalah karena mereka biasanya melakukan penggantian di halaman depan situs-situs. Jika grafiti hanya bisa diakses oleh orang yang melewati jalan maka deface dapat diakses siapapun di dunia ini yang membuka situs tersebut. Deface memenuhi syarat penyebaran pesan sosial secara massal.
Hacktivisme dianggap lebih berbahaya dari pada protes secara fisik. “… Dengan satu kelompok aktivis, saya barangkali bisa memblokir dua atau tiga restoran di kota saya. Tapi memblokir satu web site sama halnya dengan memblokir pintu masuk setiap restoran dalam jaringan perusahaan itu di seluruh dunia, “kata Ben Venzke, Direktur Intelligence Production IDefense, sebuah perusahaan security komputer di Fairfax, Venezuela mengumpamakan.
Pengelola situs boleh gusar karena wajah situsnya berubah. Pemerintah boleh memperketat UU TI. Namun dunia maya punya kultur komunitas, etika dan regulasinya sendiri.
Di saat semua saluran komunikasi formal menjadi macet ketika harus menyuarakan aspirasi, makian, umpatan, dan keluhan, kemana “suara” akan dititipkan? Salahkah kalau akhirnya lewat aktivitas deface ini semua bisa dijangkau? Tanpa edit, tanpa sensor, tapi bisa dibaca banyak orang dimanapun.
Toh, tampilan itu tak selamanya akan terpajang. Bagi administrator yang menyadari hal ini justru mendapat kesempatan memperketat sistem keamanan situsnya. Tapi bukan berarti karena UU TI belum diberlakukan lho!? Bukankah mirror deface tak jauh beda seperti spanduk dan poster-poster yang bertebaran terpampang di pinggir jalan-jalan kota?


ICHWAN CHASANI, Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Massa, Fisipol Universitas Sebelas Maret Surakarta, mengamati aktivitas deface untuk skripsi.

1 Comments:

Blogger cycojano said...

mau dong bahan skripsi defacenya..

March 30, 2014 at 11:25 PM  

Post a Comment

<< Home